Seorang
kakek sedang berjalan-jalan sambil menggandeng cucunya di jalan
pinggiran pedesaan. Mereka menemukan seekor kura-kura. Anak itu
mengambilnya dan mengamat-amatinya. Kura-kura itu segera menarik kakinya
dan kepalanya masuk di bawah tempurungnya. Si anak mencoba membukanya
secara paksa.
“Cara demikian tidak pernah akan berhasil, nak!” kata kakek, “Saya akan mencoba mengajarimu.”
Mereka
pulang. Sang Kakek meletakkan kura-kura di dekat perapian. Beberapa
menit kemudian, kura-kura itu mengeluarkan kakinya dan kepalanya sedikit
demi sedikit. Ia mulai merangkak bergerak mendekati si anak.
“Janganlah
mencoba memaksa melakukan segala seuatu, nak!” nasihat kakek, “Berilah
kehangatan dan keramahan, ia akan menanggapinya.”
2. Melawan Diri Sendiri
Kemenangan
sejati bukanlah kemenangan atas orang lain. Namun, kemenangan atas
diri sendiri. Berpacu di jalur keberhasilan diri adalah pertandingan
untuk mengalahkan rasa ketakutan, keengganan, keangkuhan, dan semua
beban yang menambat diri di tempat start.
Jerih
payah untuk mengalahkan orang lain sama sekali tak berguna. Motivasi
tak semestinya lahir dari rasa iri, dengki atau dendam. Keberhasilan
sejati memberikan kebahagiaan yang sejati, yang tak mungkin diraih
lewat niat yang ternoda.
Pelari
yang berlari untuk mengalahkan pelari yang lain, akan tertinggal
karena sibuk mengintip laju lawan-lawannya. Pelari yang berlari untuk
memecahkan recordnya sendiri tak peduli apakah pelari lain akan
menyusulnya atau tidak. Tak peduli dimana dan siapa lawan-lawannya. Ia
mencurahkan seluruh perhatian demi perbaikan catatannya sendiri.
Ia
bertading dengan dirinya sendiri, bukan melawan orang lain. Karenanya,
ia tak perlu bermain curang. Keinginan untuk mengalahkan orang lain
adalah awal dari kekalahan diri sendiri.
3. Kitalah yang menciptakan masalah
Masalah
rumah tangga memang tidak pernah habis di kupas, baik di media cetak,
radio, layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. “Dari soal
pelecehan seksual, selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak
memenuhi kebutuhan biologis istri.” Ujar seorang konsultan spiritual di
Jakarta.
Kebetulan,
teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan
usia, plus karir istri yang menanjak, kehidupa perkawinannya malah
mengarah adem. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan
keceriaan yang dulu dipunya keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah
disibukkan urusan kantor.
‘Apa
yang harus aku lakukan,” ungkapan pria ini. Konsultasi spiritual itu
menyarankan agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib shalat
tahajud dan sujud shalat syukur. “Coba lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan, Insya Allah masalahanya terang. Setelah itu, kamu ajak omong
istrimu di rumah.” Ia menyarankan.
Oke.
Sebuah saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak
istrinya. “Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran,” katanya.
Istriny tidak keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus
kehambaran rumah tangganya.
Benar
saja. Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan
cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya
kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depanya tidak di
sentuh. Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi
menerima pengakuan dosa” itu.
Pantas
saja dia selalu beralasan capek, malas, atau tidak bergairah jika
disentuh. Pantas saja, suatu malam istrinya pura-pura tidur sembari
mendekap handphone, padahal alat itu masih menampakkan sinyal—pertanda
habis dipakai berhubungan dengan seseorang. Itu pula, yang antara lain
melahirkan kebohongan demi kebohongan.
Tanpa
diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini.
Keterusterangan itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau
bahkan, lebih pahit dari itu. Hti pria ini seakan menuntut, “Kalau saja
aku tidak menuntut nasihatmu, tentu masalahnya tidak separah ini.”
Si
konsultan yang dituding, “Ikut menjebloskan dalam duka.” Meng-kick
balik. “Bukankah sudah saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di
rumah, bukan di restoran?” Buat orang awam, restoran dan rumah sekedar
tempat. Tidak lebih. Tapi, dimata si paranormal, tempat membawa
“takdir”tersendiri.
Dan
itulah yang terjadi. Keterusterangan itu tak bisa dihapus. Ia telah
mencatatkan sejarah tersendiri. Maka jalan terbaik menyikapinya adalah
seperti dikatakan orang bijak, “Jangan membiasakan diri melihat
kebenaran dari satu sisi saja.”
Kayu
telah menjadi arang. Kita tidak boleh melarikan diri dari kenyataan,
sekalipun pahit. Kepalsuan dan kebohongan tadi bisa jadi merupakan
bagian dari perilaku kita jua. “Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung
jawab penuh atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan masalah,
kita pula yang harus meyelesaikannya.” Kata orang bijak.
Pahit
getir, manis asam, asin hambar, itu sebuah resiko. Memang kiat hidup
itu tak lain adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan.
0 komentar:
Posting Komentar